Membaca Buku Juga Butuh Pengawasan Orang Tua. (Ilustrasi: Unsplash.com) |
Aktivitas literasi seperti membaca buku merupakan kegiatan positif. Pelajar di zaman sekarang yang notabene lebih senang menggenggam smartphone perlu membiasakan diri membaca buku agar terus meningkatkan pengetahuan dan wawasan. Tetapi, membaca buku, apalagi untuk usia sekolah ternyata tetap butuh pengawasan orang tua.
Pengawasan orang tua yang kita pahami mungkin diperuntukan untuk tontonan, gim, dan sampai lingkungan pertemanan siswa. Tetapi, banyak yang luput bahwa siswa yang membaca buku pun tetap harus mendapatkan pengawasan orang tua.
Mengapa hal ini perlu dilakukan? Para siswa, mulai dari SD, SMP, atau SMA masih belum memiliki banyak pengetahuan dan wawasan dalam mencerna bacaan-bacaan yang baru mereka baca. Jika tidak, mereka akan menghadapi kekerasan simbolik yang tanpa sadar menciptakan kebiasaan mereka kelak ketika dewasa.
Siswa SD, mungkin bacaan mereka tidak seberat siswa SMP dan SMA. Tetapi, di sini lah peran orang tua dibutuhkan. Salah satu buku yang paling sering dibaca siswa adalah buku sekolah. Dalam buku sekolah, pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, ada banyak narasi contoh yang bisa saja baru untuk dikenal oleh mereka.
Orang tua berperan untuk memberi pemahaman dasar terkait narasi yang ditulis dalam buku tersebut. Kita contohkan profil pekerjaan ayah. Dalam narasi contoh, baik dalam bentuk cerita atau soal, buku mata pelajaran Bahasa indonesia kerap menampilkan ilustrasi seorang ayah dari keluarga kelas atas.
Ayah yang memiliki pekerjaan bergengsi, pengusaha, polisi, guru, dan lain-lain. Dan, itu tidak dimiliki oleh semua siswa di luar sana. Orang tua wajib memberikan pemahaman dasar tentang hal ini, selain untuk memahami maksud dari bacaan dalam buku, juga agar siswa dapat mengenali keluarganya lebih dalam.
Selain buku pelajaran, buku cerita yang dibaca siswa SD pun tetap harus didampingi oleh orang tua. Hal ini bertujuan agar siswa SD yang masih sulit mencerna sesuatu yang tersirat, dapat mendapatkan pesan dari apa yang ia baca.
Cerita 'Si Kancil Anak Nakal' misalnya, siswa SD yang membaca buku tersebut bisa saja mendogma bahwa hewan kancil adalah pencuri secara definitif. Padahal, jika didampingi orang tua, siswa SD bisa mendapatkan pemahaman yang lebih konprehensif.
Mulai dari menjelaskan maksud dari cerita tersebut. Sampai menjelaskan lebih detil tentang tokoh-tokoh yang ada dalam buku itu. Sehingga, fokus dalam proses membaca di sini tidak hanya membuat seorang siswa mampu membaca tapi juga paham akan bacaannya.
Siswa SMP pun demikian, bacaan mereka jelas kan lebih berat daripada sebelumnya. Selain buku pelajaran, bisa saja mereka membaca novel remaja. Terlebih, novel remaja yang ditemukan saat ini, baik di platform online dan buku fisik, memuat cerita-cerita seksual yang seharusnya mendapatkan pendampingan dari orang tua.
Orang tua harus mengetahui apa bacaan anaknya dan menentukan apakah bacaan itu cocok untuknya atau tidak. Fenomena alternate universe yang dibuat sebuah cerita dengan karakter yang merupakan idola mereka itu juga harus diawasi. Jika diteliti, cerita-cerita tersebut memuat hal-hal ekspilit yang seharusnya tidak dikonsumsi anak di bawah umur.
Siswa SMP pun jelas akan mulai membaca berita. Apalagi di era sekarang, media sosial seolah jadi area bebas untuk mendapatkan informasi. Orang tua berperan untuk memberikan pemahaman dasar, seperti memeriksa berita sebelum membagikannya, agar terhindar dari hoaks.
Naik tingkat, siswa SMA memiliki bacaan yang lebih berat lagi. Bahkan, beberapa di antara mereka mulai membaca bacaan-bacaan filosofis yang dalam, seperti pengalaman saya. Mereka juga mulai membaca teori-teori yang lebih luas, mulai dari feminisme, komunisme, dan lain sebagainya.
Selain guru, orang tua berperan sebagai fondasi utama dalam membatasi dan memberikan pemahaman pada siswa SMA yang membaca buku tersebut agar tidak terjerumus pada paham yang keliru. Sebab, siswa SMA dengan semangatnya yang menggelora cenderung cepat menerima banyak hal baru dalam hidupnya, dan langsung diterapkan untuk merasakan hasilnya.
Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi ketimpangan terhadap budaya dan etika yang berlaku di masyarakat. Siswa SMA yang membaca buku tentang edukasi seskualitas secara mandiri tanpa pengawasan orang tua, jelas mereka bisa saja melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan.
Hal-hal di atas tidak hanya harus dipahami oleh orang tua. Tetapi juga oleh guru dan siswa itu sendiri. Terlebih, bagi siswa yang memiliki minat belajar tetapi tidak memiliki orang tua, guru harus bisa menjadi fondasi dalam memberikan pemahaman bagi siswanya. Dengan begitu, buku-buku yang dibaca tidak hanya akan memberikan pengetahuan dan wawasan, tetapi juga menghindarkan pembacanya dari sesuatu yang keliru.
Penulis: Afsal Muhammad (Penulis dan Wartawan Senior KIJ MAN 1 Cianjur)